IBU MERTUA DAN ANAK-ANAKNYA
Kisah yang saya alami ini mungkin bisa dijadikan sedikit pelajaran bagi orang tua yang sedang mendidik anak-anaknya. Memang sudah menjadi tugas orang tua adalah mendidik anak-anak mereka. Memberi kasih sayang, memberi nafkah hingga dewasa kelak. Menanamkan rasa kasih sayang diantara mereka. Mengantarkan anak-anak sampai ke jenjang pernikahan. Setelah itu melepaskan mereka untuk membina rumah tangganya sendiri. Kalau tidak, bisa jadi bumerang bagi orang tua itu sendiri seperti kisah yang saya alami ini.
Ibu mertua saya sudah lama ditinggal oleh suaminya pergi untuk selamanya. Ibu mertua dikaruniai beberapa anak termasuk istri saya.Istri saya merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Keempat kakak-kakaknya sudah lebih dulu membina rumah tangga dan tinggal di rumahnya masing-masing. Mereka sudah dikaruniai anak kecuali kakak ke -3 yang belum. Sudah 10 tahun lebih berumahtangga kakak ke-3 ini masih belum diberi momongan juga.
DIDERA SAKIT
sudah lama ibu mertua menderita sakit. Kedua kakinya seakan sudah tidak kuat lagi menyangga berat tubuhnya. Sehingga kemana-mana selalu ditemani tongkat untuk menopang tubuhnya. Sudah dicarikan berbagai macam obat namun penyakit itu masih belum pergi juga. Hampir tiap hari ibu mertua selalu minum obat dari dokter untuk menjaga agar penyakitnya tidak kambuh.
Selama ini istri saya yang merawat ibu mertua. Mencukupi segala kebutuhannya. Anak-anaknya yang lain tidak peduli karena sudah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Mereka menyerahkan semuanya kepada istri saya. Saya pikir, tak apalah. Hitung-hitung, sebagai tanda pengabdian seorang anak terhadap ibunya. Mungkin hal inilah yang membuat saya tidak tega untuk meninggalkan ibu mertua di rumah sendirian. Padahal rencananya, dulu setelah menikah saya ingin membentuk rumah tangga sendiri bersama istri. Namun saya merasa kasihan melihat ibu mertua sendirian. Akhirnya saya dan istri saya memutuskan untuk tinggal bersama ibu.
PENGABDIAN SEORANG MENANTU
Hari Rabu (10/10) lalu saya mudik lebaran sesuai rencana sebelumnya. Kebetulan saat itu ibu mertua sedang sakit. Semalaman muntah-muntah terus. Sepertinya kena masuk angin. Akhirnya Istri saya menghubungi kakak-kakaknya untuk menjaga ibu. Beberapa saat kemudian kakak pertama dan kakak kedua datang. Ibu mertua saya beri uang untuk berobat ke dokter diantar kakak, sedangkan saya dan istri langsung mudik lebaran sesuai rencana.
Sampai di Ponorogo, malamnya istri saya telpon ke Surabaya menanyakan keadaan ibu. Ternyata dari pemeriksaan dokter tadi pagi, ibu mertua dinyatakan sakit muntaber dan dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Namun kakak tidak mau karena di rumah sakit tidak ada yang menunggu. Mendengar jawaban itu saya sangat heran. Masa sebagai anak tidak mau menunggu ibunya yang sakit di rumah sakit. Masa istri saya yang berada jauh di Ponorogo langsung disuruh kembali ke Surabaya lagi. Padahal di Surabaya masih ada dua kakak yang lain. Benar-benar keterlaluan pikir saya. Akhirnya atas desakan istri saya, ibu mertua dibawa ke rumah sakit Al-Irsyad Surabaya Kamis pagi.
Saya dan istri akhirnya berunding dan memutuskan kembali ke Surabaya lagi hari Jumat pagi. Tidak sempat menunggu lebaran yang hanya kurang sehari itu. Tiba di Surabaya siang hari. Setelah bersih-bersih rumah, kami pergi ke rumah sakit menggantikan kakak yang lebih dulu menunggu. Kedatangan saya dan istri seakan menjadi dewa penolong kakak-kakak yang lain. Seakan mereka sudah bebas tanpa ada tanggung jawab terhadap ibu. Kakak pertama pergi ke Jombang untuk lebaran di sana. Kakak kedua pergi keluar kota demi pekerjaan. Kakak ketiga tidak sempat pulang karena sedang berlayar. Malam hari saya lalui dengan istri saya. Hampir sepanjang malam kami tidak sempat tidur. Ibu selalu berontak dengan sakitnya. Hal itu berlangsung sepanjang malam hingga pagi hari. Paginya giliran jaga digantikan oleh kakak yang lain. Saat itu yang sebenarnya hari lebaran sudah tidak kami rasakan lagi. Saya dan istri pulang untuk istirahat setelah semalaman tidak tidur.
Siang hari istri saya mendapat telepon dari kakak yang sedang menjaga ibu di rumah sakit. Katanya kondisi ibu mertua sudah kritis. Mata terpejam dan sudah tidak ingat apa-apa lagi. Mendengar kabar itu, spontan kami meluncur ke rumah sakit. Kakak yang lain yang saat itu ada di Surabaya turut serta. Sungguh memprihatinkan kondisi ibu mertua saat itu. Diam tidak berdaya. Hanya menunggu kehendak dari Allah S.W.T. Semuanya sudah pasrah. Dokterpun sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan akhirnya…, inalillahi wa inailaihi rajiun. Tepat hari Sabtu jam 18:15 WIB ibu mertua menghembuskan nafas terakhirnya.
Anehnya, begitu ibu sudah tidak ada, mereka pulang semua seakan sudah tidak peduli lagi kondisi di rumah sakit. Hanya tinggal saya dan istri saya yang tetap merawat ibu. Bagaimana paniknya saya saat itu. Siapa yang membawa ibu pulang? Siapa yang membayar biaya rumah sakitnya? Saya betul-betul bingung. Kakak-kakak yang lain seakan menghindari semua ini. Mau tidak mau saya dan istrilah yang mangurus semua itu. Untungnya ada tetangga yang datang membantu mengangkat jenasah ibu mertua ke ambulans. Hingga akhirnya jenasah ibu mertua dibawa pulang dan dimakamkan pagi harinya.
Dari kisah yang saya alami ini akhirnya saya bisa mengambil hikmahnya. Perselisihan demi perselisihan yang terjadi menampakkan jati diri yang sesungguhnya. Akhirnya saya tahu siapa kakak yang benar-benar kakak saya. Yang bisa diajak berbagi dalam suka dan duka. Kakak yang mempunyai tanggungjawab dan menganggap kita ini adalah saudara. Saya hanya seorang menantu yang berusaha menjilma menjadi seorang anak menggantikan kakak yang sudah hilang kasih sayangnya kepada orang tua. Semoga kisah ini tidak terjadi pada teman-teman yang lain.
Leave a Reply